Gangguan pendengaran adalah
ketidakmampuan secara parsial atau total untuk mendengarkan suara pada salah
satu atau kedua telinga.
Menurut American
National Standart Institute, derajat tuli (gangguan pendengaran) terbagi
atas:
· 16-25
dB HL : tuli sangat ringan
· 26-40
dB HL : tuli ringan, tidak dapat mendengar bisikan
· 41-70
dB HL : tuli sedang, tidak dapat mendengar percakapan
· 71-95
dB HL : tuli berat, tidak dapat mendengar teriakan
· 95
dB HL : tuli sangat berat, tidak dapat mendengar suara yang menyakitkan bagi pendengaran manusia yang normal.
EPIDEMIOLOGI
Gangguan
pendengaran merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus
mengenai 6-8% dari populasi di negara berkembang dan sebagian merupakan defek
yang didapatkan sejak lahir.
Insiden gangguan
pendengaran pada neonatus di Amerika Serikat berkisar 1-3 dari 1000 kelahiran
hidup. Sedangkan di Indonesia saat ini menurut survey kesehatan Indera
Pendengaran di 7 Propinsi tahun 1994-1996 didapatkan 16,8% penduduk menderita
tuli sejak lahir. Data di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menunjukan sebanyak 58%
dari 652 anak berusia 1-5 tahun menderita gangguan pendengaran.
Di inggris, berdasarkan
penelitian terhadap anak yang lahir pada tahun 1980 sampai tahun 1995
prevelansi gangguan pendengaran permanen pada anak meningkat sampai usia 9
tahun. Insiden berkisar 1dari 1000 kelahiran hidup dan sebanyak 50%-90%
didiagnosis mengalami gangguan permanen pada usia 9 tahun. Penyebab gangguan
pendengaran dapat berasal dari genetic maupun didapat.
KLASIFIKASI GANGGUAN PENDENGARAN
Ø Gangguan
Pendengaran Konduktif
Disebabkan oleh
kondisi patologis pada kanal telinga eksterna, membran timpani, atau
telinga tengah. Gangguan pendengaran konduktif tidak melebihi 60dB karena
dihantarkan menuju koklea melalui tulang (hantaran melalui tulang) bila
intensitasnya tinggi. Penyebab tersering gangguan pendengaran jenis ini pada
anak adalah otitis media dan disfungsi tuba eustachius yang disebabkan oleh
otitis media sekretori. Kedua kelainan tersebut jarang menyebabkan kelainan
gangguan pendengaran melebihi 40dB
Ø Gangguan
Pendengaran Sensorineural
Disebabkan oleh
kerusakan atau malfungsi koklea, saraf pendengaran dan batang otak sehingga
bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Bila kerusakan terbatas pada sel rambut di
koklea, maka sel ganglion dapat bertahan atau mengalami degenerasi transneural. Bila sel ganglion rusak, maka
nervus VIII akan mengalami degenerasi Wallerian. Penyebabnya antara
lain adalah: kelainan bawaan, genetik, penyakit/kelainan pada saat anak dalam
kandungan, proses kelahiran, infeksi virus, pemakaian obat yang merusak koklea
(kina, antibiotika seperti golongan makrolid), radang selaput otak, kadar bilirubin
yangmtinggi. Penyebab utama gangguan pendengaran ini disebabkan genetik atau
infeksi, sedangkan penyebab yang lain lebih jarang.
Ø Gangguan
Pendengaran Campuran
Bila gangguan pendengaran atau tuli konduktif
dan sensorineural terjadi bersamaan.
Ø Gangguan Pendengaran Saraf
Disebabkan oleh
tidak adanya atau rusaknya saraf pendengaran dapat mengakibatkan gangguan
pendengaran saraf. Gangguan pendengaran saraf biasanya parah dan permanen.Alat
bantu dengar dan implan rumah siput tidak dapat mengatasi hal ini karena saraf
tidak dapat meneruskan informasi bunyi ke otak. Dalam banyak kejadian,
Implan Batang Otak Auditory (ABI) dapat menjadi pilihan pengobatan.
ETIOLOGI
Secara garis besar faktor penyebab terjadinya
gangguan pendengaran dapat berasal dari genetik maupun didapat:
1. Faktor Genetik.
Gangguan
pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa gangguan pendengaran
bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungkin bersifat statis maupun
progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif, berhubungan dengan
kromosom X (contoh: Hunter Syndrom,Alpert Syndrom, Norries disease)
kelainan mitokondria (contoh: Kearns-Sayre syndrome), atau
merupakan suatu malformasi pada satu atau beberapa organ telinga (contoh:
stenosis atau atresia kanal telinga eksternal sering dihubungkan dengan
malformasi pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan tuli konduktif).
2. Faktor Didapat.
Antara lain dapat disebabkan:
- Infeksi
Rubela kongenital,
Cytomegalovirus, Toksoplasmosis, virus herpes simpleks, meningitis
bakteri, otitis media kronik purulenta, mastoiditis, endolabirintitis,
kongenital sifilis. Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus menyebabkan
gangguan pendengaran pada 18% dari seluruh kasus gangguan pendengaran dimana
gangguan pendengaran sejak lahir akibat infeksi Cytomegalovirus sebesar
50%, infeksi Rubela kongenital 50%, dan Toksoplasma kongenital 10%-15%,
sedangkan untuk infeksi herpes simpleks sebesar 10%.
Gangguan
pendengaran yang terjadi bersifat tuli sensorineural. Penelitian oleh Rivera
menunjukkan bahwa 70% anak yang mengalami infeksi sitomegalovirus kongenital
mengalami gangguan pendengaran sejak lahir atau selama masa neonatus. Pada
meningitis bakteri melalui laporan post-mortem dan beberapa studi klinis
menunjukkan adanya kerusakan di koklea atau saraf pendengaran, sayangnya proses
patologis yang terjadi sehingga menyebabkan gangguan pendengaran masih belum
dapat dipastikan.
2. Obat
ototoksik
Obat- obatan yang
dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah: Golongan antibiotika: Erythromycin,
Gentamicin, Streptomycin, Netilmicin, Amikacin, Neomycin (pada
pemakaian tetes telinga), Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin. Golongan
diuretika: furosemide.
3. Trauma
Fraktur tulang temporal, perdarahan pada telinga
tengah atau koklea, dislokasi osikular, trauma suara.
4. Masalah perinatal
Prematuritas,
anoksia berat, hiperbilirubinemia, obat ototoksik
Penyebab
lainnya ganngguan pendengaran pada anak sebagai berikut:
- Sering pada usia pra/sekolah akibat
- liang telinga tersumbat kotoran ( serumen ).
- peradangan di telinga tengah ( middle ear).
- seringkali disebabkan ISPA ( pilek, radang tenggorok).
- Bersifat sementara , sembuh dengan obat atau mengeluarkan kotoran
- Penyakit Paling Sering: Otitis Media Efusi ( OME), Otitis Medi Akuta(OMA) Otitis media Supuratif Kronis (OMSK).
- Kelainan bawaan
- Genetik
- Infeksi virus
- Meningitis (kejang demam)
- Kadar bilirubin darah yang tinggi (kuning).
GAMBARAN KLINIS
Bayi dan anak
dengan gangguan pendengaran sering memberikan gejala berupa keterlambatan
bicara (speech delayed). Gagal atau tidak berkembangnya kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan tanda
yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran dan perlu dievaluasi. Adapun
beberapa gejala atau tanda lain pada anak yang mengalami gangguan pendengaran
antara lain :
- Tidak ada respon pada bunyi yang keras pada bayi umur 3-4 bulan atau bayi tidak dapat mengetahui asal dari sumber bunyi
- Bayi hanya melihat ketika
dia melihat ibu atau orang lain yang berhadapan dengannya, sedangkan dia
tidak akan melihat apabila tidak berhadapan dengannya atau meskipun dengan
memanggil namanya
- Pada bayi umur 15 bulan yang
mengalami keterlambtan berbicara, tidak akan dapat mengucapkan kata-kata
mama
- Bayi atau anak tidak selalu
respon ketika dipanggil
- Anak-anak dapat mendengar
beberapa bunyi tetapi bunyi yang lainnya tidak.
DETEKSI GANGGUAN PENDENGARAN PADA ANAK
Walaupun derajat ketulian yang dialami
seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan
mempengaruhi kemampuan
berbicara dan berbahasa. Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka
diperlukan skrining pendengaran pada anak. Skrining pendengaran pada anak biasa
dilakukan pada saat baru lahir atau pada saat bayi (Newborn Hearing
Screening) dibedakan menjadi:
1. Universal
Newborn Hearing Screening (UNHS) : dilakukan pada semua bayi baru
lahir, sebelum meninggalkan rumah sakit.
2. Targeted Newborn
Hearing Screening : dilakukan khusus pada bayi yang mempunyai faktor
resiko terhadap ketulian
PEMERIKSAAN GANGGUAN
PENDENGARAN PADA ANAK
Menurut
ketentuan dari American Joint Committee of Infant Hearing tahun
2000, gold standart untuk pemeriksaan pendengaran bayi adalah Automated
Otoacoustic Emissions (AOAE) dan Automated Auditory Brainstem
Response (AABR). Program skrining ini telah dijalankan pada tahun 2001
dan telah diterapkan seutuhnya di Inggris (University of Virginia).
- Automated Otoacoustic
Emissions (AOAE)
AOAE merupakan respon akustik nada
rendah terhadap stimulus bunyi dari luar yang tiba di sel-sel rambut luar
koklea. AOAE bermanfaat untuk mengetahui apakah koklea berfungsi normal,
berdasarkan prinsip elektrofisiologik yang objektif, cepat, mudah, otomatis,
non-invasif, dengan sensitivitas mendekati 100%. Kerusakan yang terjadi pada
sel-sel rambut luar koklea, misalnya akibat infeksi virus, obat ototoksik,
kurangnya aliran darah yang menuju koklea menyebabkan sel-sel rambut luar
koklea tidak dapat memproduksi AOEA. Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk
bayi yang baru berusia 2 hari. Selain juga untuk orang dewasa. Pada bayi,
pemeriksaan ini dapat dilakukan saat beristirahat/tidur. Tesnya tergolong
singkat dan tidak sakit, namun memberi hasil akurat. Hasilnya dapat
dikategorikan menjadi dua, yakni pass dan refer. Pass berarti tidak ada
masalah, sedangkan refer artinya ada gangguan pendengaran hingga harus
dilakukan pemeriksaan berikut.
- Automated Auditory Brainstem
Response (AABR) atau Automated Brain
Evoked Response Audiometri (BERA)
Tes BERA dapat menggambarkan reaksi
yang terjadi sepanjang jaras-jaras pendengaran, dapat dideteksi berdasarkan
waktu yang dibutuhkan dimulai pada saat pemberian impuls sampai menimbulkan
reaksi dalam bentuk gelombang. Pemeriksaan BERA mempunyai nilai objektifitas
yang tinggi, penggunaannya mudah, tidak invasif, dan dapat dipakai untuk
pemeriksaan anak yang tidak kooperatif, yang tidak bisa diperiksa secara
konvensional.
Pemeriksaan lain
yang dapat dilakukan adalah
Timpanometri. Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi (tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif. Prosedur ini tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan biasanya digunakan pada anak-anak. Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga. Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga.
Timpanometri. Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi (tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif. Prosedur ini tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan biasanya digunakan pada anak-anak. Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga. Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga.
Auditory Brainstem
Response (ABR). Cara
pemeriksaannya hampir sama dengan OAE. Bayi mulai usia 1 bulan sudah dapat
dilakukan tes ini, Automated ABR yang berfungsi sebagai screening, juga dengan
2 kategori, yakni pass dan refer. Hanya saja alat ini cuma mampu mendeteksi ambang
suara hingga 40 dB. Sedangkan guna mengetahui lebih jauh gangguan pendengaran
yang diderita, lazimnya dilakukan pemeriksaan lanjutan, dengan BERA (Brainstem
Evoked Response Audiometry).
Visual Reinforced
Audiometry (VRA). Pemeriksaan ini juga dapat
dilakukan pada bayi usia 9 bulan sampai 2,5 tahun. Pemeriksaan yang hampir sama
dengan CORs ini juga berfungsi untuk mengetahui ambang dengar anak. Tergolong
pemeriksaan subjektif karena membutuhkan respons anak. Namun pada tes ini
selain diberikan bunyi-bunyi, alat yang digunakan juga harus dapat menghasilkan
gambar sebagai reward bila anak berhasil memberi jawaban. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan sambil bermain.
Play Audiometry. Pemeriksaan yang juga
berfungsi mengetahui ambang dengar anak ini dapat dilakukan pada anak usia
2,5-4 tahun. Caranya dengan menggunakan audiometer yang menghasilkan bunyi
dengan frekuensi dan intensitas berbeda. Bila anak mendengar bunyi itu berarti
sebagai pertanda anak mulai bermain misalnya harus memasukkan benda ke kotak di
hadapannya.
Conventional Audiometry. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan anak usia 4 tahun sampai remaja. Fungsinya untuk mengetahui
ambang dengar anak. Caranya dengan menggunakan alat audiometer yang mampu
mengeluarkan beragam suara, masing-masing dengan intensitas dan frekuensi yang
berbeda-beda. Tugas si anak adalah menekan tombol atau mengangkat tangan bila
mendengar suara.
HABILITASI
PENDENGARAN
Habilitasi pendengaran (memberikan fungsi pendengaran yang seharusnya
dimiliki seseorang) ini ditujukan untuk bayi atau anak yang belum memiliki kemampuan atau pengalaman mendengar
sebelumnya. setelah
diketahui seorang anak menderita ketulian saat menjalani prosedur skrining
pendengaran yaitu Universal Newborn Hearing Screening yang direkomendasikan
untuk saat ini. Upaya habilitasi harus dilakukan sedini
mungkin, karena usia kritis proses berbicara dan mendengar adalah 2-3 tahun. Adapun Program habilitasi ini sudah sejak lama dilakukan untuk anak
yang mengalami gangguan dengar dan dilakukan 3 kriteria, seperti dibawah ini:
1.Amplifikasi yaitu (memperkeras input suara)
misalnya melalui berbagai pilihan (alat bantu dengar (hearing aid) bila tidak
berhasil perlu dipertimbangkan jenis lainnya seperti implantasi koklea
(memasukkan kabel elektroda ke dalam rumah siput/koklea, melaui operasi).
2.Auditory training (latihan mendengar).
3.Latihan Wicara (pilihan:Speech therapy,
Auditory Verbal Therapy, Sensory Integration).
Deteksi dini gangguan pendengaran pada
bayi sudah dimulai sejak usia 2 hari (sebelum keluar dari RS), bila hasilnya
refer (gagal) atau ada faktor risiko (misalnya lahir kuning, berat badan kurang
dari 1500 gr, waktu hamil ibu mengalami infeksi toksoplasma atau Rubela) perlu
pemeriksaan pendengaran lanjutan pada usia 1 dan 3 bulan.
Pada usia 3 bulan sudah harus dipastikan ada atau tidaknya gangguan pendengaran sehingga habilitasi sudah
dimulai sebelum usia 6 bulan. Dengan habilitasi yang baik diharapkan
kemampuan wicara pada saat usia 3 tahun bisa mendekati anak normal.
Pemeriksaan pendengaran harus menggunakan cara cara yang obyektif (sensitivitas mendekati 100%)
yaitu Oto Acoustic Emission (OAE) dan BERA (Brainstem Evoked response Audiometry).
OAE untuk menentukan fungsi sensor bunyi rumah siput pada (usia 2 hari , 1 dan
3 bulan). BERA utk menentukan menilai reaksi saraf pendengaran terhadap bunyi
dari luar (diperiksa saat usia 1- 3 bulan). Skrining pendengaran secara masal
dan berkala juga dilakukan pada murid sekolah dan dengan tehnik atau metode berbeda (dengan bayi atau anak).
Untuk proses habilitasi
pada pasien anak-anak yang mengalami gangguan dengar membutuhkan kerja sama
dari beberapa disiplin, antara lain dokter spesialis THT, dokter spesialis
anak, audiologist, ahli terapi wicara, dan juga dukungan dari keluarga pasien.
TERAPI
- Memberikan pengetahuan
dan dukungan terhadap orang tua
· Terapi
dengan alat bantu dengar sebagai berikut :
1.Alat
bantu dengar eksternal
Alat ini akan meningkatkan volume suara yang mendekati telinga. Alat ini diletakkan di belakang
telinga atau di dalamnya. Alat bantu dengar yang diletakkan tepat di dalam meatus akutikus
eksternus diperuntukkan bagi pasien dengan tuli derajat ringan dan sedang.
Alat ini akan meningkatkan volume suara yang mendekati telinga. Alat ini diletakkan di belakang
telinga atau di dalamnya. Alat bantu dengar yang diletakkan tepat di dalam meatus akutikus
eksternus diperuntukkan bagi pasien dengan tuli derajat ringan dan sedang.
2.Alat
bantu dengar digital
Alat bantu dengar digital sering dapat memperbaiki kualitas dari suara. Alat yang tersedia untuk
NHL selalu memiliki komponen digital di dalamnya.
Alat bantu dengar digital sering dapat memperbaiki kualitas dari suara. Alat yang tersedia untuk
NHL selalu memiliki komponen digital di dalamnya.
3.Alat
bantu dengar implant
- Implant koklear
Ini merupakan alat
yang ditanam secara operasi dirancang untuk merubah suara menjadi sinyal
listrik. Pada gangguan pendengaran sensorineural dapat dilakukan implantasi
koklea untuk memperbaiki pendengaran sehingga akan meningkatkan kemampuan
berkomunikasi pasien tuli saraf berat atau total. Pencangkokan koklea (implan
koklea) dilakukan pada penderita tuli berat yang tidak dapat mendengar
meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. Alat ini dicangkokkan di bawah
kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian:
- Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar
- Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah suara yang tertangkap oleh mikrofon (O’Reilly C)
- Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima sinyal dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang listrik
- Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan mengirimnya ke otak.
Suatu implan tidak
mengembalikan ataupun menciptakan fungsi pendengaran yang normal, tetapi bisa
memberikan pemahaman auditoris kepada penderita tuli dan membantu mereka dalam
memahami percakapan. Implan
koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar berfungsi
memperkeras suara. Implan koklea menggantikan fungsi dari bagian telinga dalam
yang mengalami kerusakan.
Cara kerja Implan
Koklea adalah sebagai berikut : impuls suara ditangkap oleh mikrofon,
diteruskan ke speech processor yang menyeleksi informasi suara
yang sesuai menjadi kode suara yang disampaikan ke transmitter. Kode suara
dipancarkan melalui kabel dan menembus kulit menuju receiver atau
stimulator yang berubah menjadi sinyal listrik dan diteruskan menuju
elektroda-elektroda yang sesuai di dalam koklea yang merangsang serabut-serabut
saraf. Saraf pendengaran ini meneruskan ke otak dan menerjemahkan informasi ini
sebagai suara. Pada speech processor terdapat sirkuit listrik khusus yang
berfungsi meredam bising lingkungan.
o Bone anchored hearing aid (BAHA)
Operasi jenis ini diperuntukkan untuk
pasien dengan tuli konduktif atau tuli campuran. Keuntungan dengan penggunaan
alat ini adalah kualitan suara yang lebih bagus dan juga memperbaiki
penampilan, namun seperti halnya dengan operesi implant koklear, terkadang bisa
saja terjadi hasil yang diluar harapan pasien. Juga terdapat resiko adanya
rekasi jaringan dan hilangnya jaringan-jaringan dari posisinya semula di tulang
tengkorak.
0 Response to "Gangguan Pendengaran Anak"
Post a Comment
Komentar jangan menautkan link aktif (akan di apus).
Jangan rasis, SARA dan mencaci.
Berkomentar dengan bijak dan sopan.