Proses belajar mendengar bagi bayi dan
anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek tumbuh kembang,
perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi dan audiologi. Pada sisi
lain pemeriksaan diharapkan dapat mendeteksi gangguan pendengaran pada kelompok
usia ini sedini mungkin
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak
kadang-kadang disertai keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia
perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalami gangguan
pendengaran, lebih dahulu diketahui keluarganyan sebagai pasien yang terlambat
bicara (delayed speech). Dan gangguan
pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) tuli total (deaf)
Di tiga negara bagian Amerika Serikat dari tahun 1995 -
1999, bayi baru lahir yang mengalami tuli bilateral berkisar 1-3 bayi per 1000
bayi pada bayi yang sehat dan sebanyak 2-4 bayi per 1000 bayi pada bayi yang dirawat
secara intensif. Connolly pada tahun 2005, menemukan gangguan pendengaran
sebanyak 1 dari 811 kelahiran tanpa faktor risiko dan 1 dari 75 kelahiran
dengan faktor risiko (Michele A, 2005)
Di Inggris, berdasarkan penelitian terhadap anak yang
lahir pada tahun 1980 sampai tahun 1995 prevalensi gangguan pendengaran
permanen pada anak meningkat sampai usia 9 tahun. Insiden berkisar 1 dari 1000
kelahiran hidup dan sebanyak 50% - 90% didiagnosis mengalami gangguan
pendengaran permanen pada usia 9 tahun. Penyebab gangguan pendengaran dapat
berasal dari genetik maupun didapat, penyebab faktor didapat antara lain:
infeksi, hiperbilirubinemia, obat ototoksik, trauma serta neoplasma (Michele A, 2005).
Survei Kesehatan indera pendengaran yang dilakukan pada
7 propinsi di Indonesia (1994 – 1996) mendapatkan prevalensi tuli sejak lahir
sebesar 0.1 % dari 19.375 sample yang diperiksa. Dari angka tersebut dapat kita
perkirakan berapa jumlah penderita ketulian penduduk Indonesia saat ini
The Joint Committe on Infant Hearing tahun 1994 merekomendasikan skrining pendengaran neonatus harus dilakukan
sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah diberikan sebelum usia 6 bulan.
Estimasi prevalensi gangguan pendengaran bilateral congenital sedang
sampai sangat berat pada bayi baru lahir berkisar antara 1 dalam 900 sampai 1 dalam 2500 kelahiran hidup
US Preventive Service Task Force melaporkan
bahwa prevalensi gangguan pendengaran neonatus di Neonatal Intensive
Care Unit (NICU) 10-20 kali lebih besar dari
prevalensi gangguan pendengaran pada populasi neonatus normal. Di Indonesia sampai saat
ini belum ada data, karena belum dilakukan program skrining pendengaran. Menurut data WHO
tahun 2007, prevalensi gangguan pendengaran pada Menurut data WHO tahun
2007, prevalensi gangguan pendengaran pada populasi penduduk Indonesia
diperkirakan sebesar 4,2%, sehingga berdasarkan data tahun 2002 bila
jumlah penduduk Indonesia sebesar 221.900.000 maka 9.319.800 penduduk
Indonesia diperkirakan menderita gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sering diabaikan karena orangtua
tidak langsung sadar anaknya menderita gangguan, kadang - kadang anak dianggap
sebagai anak autis atau hiperaktif karena sikapnya yang sulit diatur. Oleh
karena itu diagnosa dini gangguan pendengaran sangatlah penting. Menemukan
gangguan pendengaran pada bayi tidaklah mudah, seringkali baru diketahui
setelah usia 2 – 3 tahun. Menurut Sininger di AS tanpa program skrining
pendengaran gangguan pendengaran baru diketahui pada usia 18 – 24 bulan (Suardana W, 2007).
Penilitian terakhir menyebutkan bahwa anak dengan
kelainan pendengaran membutuhkan tindakan rehabilitasi sesegera mungkin, bahkan
juga anak usia 6 bulan yang telah diidentifikasi memiliki kelainan pendengaran.
Pemberian amplifikasi perlu dipertimbangkan untuk memberikan rangsang stimulus
pendengaran namun harus diperhatikan faktor penguatannya sehingga tidak
menimbulkan kerusakan yang permanen. Sedangkan di negara maju penggunaan
implant koklear sudah banyak diterapkan pada anak dengan kelainan kongenital (Bashiruddin, 2006).
Angka kejadian gangguan pendengaran pada telinga
baik pada anak-anak maupun dewasa semakin menunjukkan peningkatan dari tahun ke
tahun. Seperti yang kita lihat pada tabel yang di data WHO sebagai berikut ini:
Di Indonesia sendiri
menurut data yang dilaporkan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan
Undip didapatkan pada tabel sebagai berikut:
Usia
|
FK/UI RSCM
|
FK/Undip RSDK
|
Total
|
652
|
91
|
Kurang 1 tahun
|
9,81%
|
40,26%
|
1-3 tahun
|
39,72%
|
23,39%
|
4 – 5 tahun lebih
|
23,6%
|
40,26%
|
Dari tabel data diatas
permasalahan yang sering muncul ada beberapa hal dan harus mendapat perhatian
lebih sebagai berikut:
v Pada saat usia prasekolah maupun sekolah gangguan
pendengaran terlambat diketahui.
v Fasilitas Habilitasi dan Rehabilitasi pendengaran
tidak memadai dan mahal.
v Faktor sosial maupun ekonomi dari keluarga
anak-anak yang menglami gannguan pendengaran (FKUI/FK UNDIP).
0 Response to "Pengertian Tuli Pada Anak"
Post a Comment
Komentar jangan menautkan link aktif (akan di apus).
Jangan rasis, SARA dan mencaci.
Berkomentar dengan bijak dan sopan.