Definisi
Epilepsi
berasal dari kata Yunani “epilambanien” yang berarti
“serangan” dan menunjukan bahwa “sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya,
sehingga dia jatuh.2,3
Epilepsi
didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas
muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal
dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan
epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah
manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal. Yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel
saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(“unprovoked”).2,3
Etiologi
1. Idiopatik
epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum, penyebabnya
tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi normal
dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik.
2. Kriptogenik epilepsi
: Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan lokasi yang
berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di
otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox
Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.7,8
3. Simptomatik
epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari,
contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat,
kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah
diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan
neurodegeneratif.7,8
Epidemiologi
Epilepsi
merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima
puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih
tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar
50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000. Di negara
berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun.
Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.2,5
Insiden
tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan
uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus). 9 Menurut Irawan Mangunatmadja
dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi
pada anak cukup tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar
40 kasus per 100.000.2
Gejala
Klinis
1.
Kejang parsial simplek
Serangan
di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
a. “dejavu vu” Perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
b.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan
c. Perasaan seperti kebas, tersengat
listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubuh tertentu.
d. Gerakan yang tidak dapat
dikontrol pada bagian tubuh tertentu
e. Halusinasi 6,7,8
2. Kejang
parsial (psikomotor) kompleks
Serangan
yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama.
Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat
waktu serangan. Gejalanya meliputi:
a. Gerakan
seperti mencucur atau mengunyah
b. Melakukan
gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya
c. Melakukan gerakan yang tidak jelas
artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung
d. Gerakan menendang atau meninju yang
berulang-ulang
e. Berbicara tidak jelas seperti
menggumam6,7,8
3.
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan
tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau
kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat
hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa
didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan
dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada
tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan
jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit
pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi
kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air
besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin
akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.6,7,8
Diagnosis 1,7,8
1. Anamnesis
Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang
atau bukan ,dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan
wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata
yang mengetahui alamat pasien. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah
untuk menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan kejang itu
berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut
biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada
kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami
pasien.
2. Riwayat medik dahulu.
Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang
berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan
kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk
pengobatan selanjutnya.
3. Riwayat
sosial.
Ada
beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini
penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan
evaluasi.
4. Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada
sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya
dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai
contoh “Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“
benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik
disertai kejang demam plus.
5. Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu
dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau
efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah
ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar
matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas.
6. Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu
ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum
sehari dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau
tidak efek sampingnya.
Pemeriksaan Fisik 1,7,8
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya
serangan kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan.
Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah
leher untuk mendete serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang
mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop
kardiovaskular ksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular
sebaiknya dilakukan pada pertama kali. Juga perlu dilihat apakah ada bekas
gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau
apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan
kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena
pemberian obat fenitoin.
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait,
koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon.
Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan
lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau
lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau
ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti
karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan
kejang terjadi.
Pemeriksaan Penunjang 1,4,6
a. Pemeriksaan
Laboratorium
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan
hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan
serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea
Nitrogen , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk
yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya
dilakukan bila dicurigai adanya drug abuse.
Pemeriksaan
Elektroensefalografi.
Pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan elektroensefalografi
(EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu sadar
dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan
hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang
penting untuk membantu diagnosis epilepsi
Pemeriksaan
Radiologi
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau
tidaknya kelainan struktural diotak.
Indikasi CT Scan kepala adalah:
- Semua
kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural
di otak.
- Perubahan
serangan kejang.
- Ada
defisit neurologis fokal.
- Serangan
kejang parsial.
- Serangan
kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk
persiapan operasi epilepsi.
Penatalaksanaan 4,6,7,8
Prinsip
umum terapi epilepsi
- Monoterapi lebih baik untuk mengurangi potensi adverse
effect, meningkatkan kepatuhan pasien,tetapi tidak terbukti bahwa politerapi
lebih baik dari monoterapi.
- hindari atau minimalkan
penggunaan antiepilepsi sedatif, toleransi,
efek pada intelegensia, memori, kemampuan motorik bisa menetap selama
pengobatan
- jika mungkin, mulai terapi dgn satu antiepilepsi non-sedatif,
jika gagal baru diberi sedatif atau politerapi.
- jika suatu obat gagal mencapai terapi yang diharapkan, pelan-pelan dihentikan dan diganti dengan obat lain
· Non
Farmakologi
- Amati faktor pemicu
- Menghindari faktor pemicu (jika
ada)misalnya : stress, OR, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan
jadwal tidur, terlambat makan, dll.
· Farmakologi
- menggunakan obat-obat antiepilepsi (contoh;fenitoin,
karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat
Prognosis 1,3,7
· Prognosis
umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami
epilepsy akan sembuh, dan kurang lebih setengah pasien akan bisa lepas dari obat-obatan.
· 20 - 30% penderita mungkin
akan berkembang menjadi epilepsi kronis, pengobatan semakin sulit, 5 % di antaranya akan
tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Pasien dengan lebih dari satu jenis
epilepsi, mengalami retardasi mental, dan gangguan psikiatri dan neurologik kemungkinan menjadi
prognosis jelek
0 Response to "Penyakit Epilepsi (Ayan)"
Post a Comment
Komentar jangan menautkan link aktif (akan di apus).
Jangan rasis, SARA dan mencaci.
Berkomentar dengan bijak dan sopan.